Passion?

Lebih dari satu tahun yang lalu saya resign dari kantor saya. Dari rutinitas 7 to 5. Kerja di rumah, kaos buluk, celana kolor. Terdengar menyenangkan bagi sebagian orang, tapi faktanya adalah ketika kita memutuskan untuk mengikuti rutinitas 7 to 5 atau rutinitas pekerja kantoran, artinya kita sedang menuju zona kerja 24 jam sehari. Karena ketika orang bekerja di kantor, pada dasarnya aturannya adalah bekerja sesuai dengan jam yang ditentukan kantor. Sedangkan ketika kita resign, maka 24 jam penuh kita harus mengurusi pekerjaan kita sendiri. Suka tidak suka, seperti itu kenyataannya.

Saya sering dengar beberapa orang yang bilang, “Saya mau mengejar passion saya”, ketika saya tanya kenapa resign. Beberapa memang sukses, tapi lebih banyak yang kemudian kembali ke rutinitas 7 to 5. Saya juga sering melihat, beberapa orang yang bekerja di rumah yang kemudian memberi embel-embel CEO “blablabla” di profile sosial medianya. Tidak salah memang, cuma aneh saja kalau sebagai CEO, masih mengerjakan riset produk, riset pasar, balas chat pelanggan, konfirmasi orderan, atau apalah. Hehe..

Resign bukan tentang bergaya supaya kita bisa seenak jidat memberi title CEO di profile sosial media Click To Tweet

Banyak alasan untuk resign dari kantor. Bosan. Tidak cocok dengan rekan kantor. Tidak cocok dengan bos. Tidak sesuai dengan pekerjaan. Ada tawaran yang lebih menggiurkan. Atau, yang sering dijadikan alasan orang kantor ketika resign dan memutuskan menjadi entepreneur, PASSION.

Diambil dari Oxford Dictionary, “Passion is An intense desire or enthusiasm for something“.

Antusiasme seseorang akan sesuatu.

Sesuatu yang membuat kita antusias untuk melakukannya. Sesuatu yang membuat kita gembira, senang, tak ada keberatan didalamnya ketika mengerjakannya.

Masalahnya adalah, tidak semua PASSION dapat menghasilkan uang.

Saya punya passion tidur. Saya antusias ketika melakukan itu. Tapi tentu saja, kecil kemungkinannya orang rela membayar saya untuk tidur. Tidak semudah itu menjadikan passion sebagai alat penghasil uang bagi kita.

Convergence Area

Tapi tentu saja ada ranah dimana kita bisa menjadikan passion sebagai alat penghasil uang. Area tersebut namanya adalah “Convergence Area“. Kalau digambarkan seperti ini (diambil dari buku $100 Startup)

convergence-area
Convergence Area

Area berwarna kuning adalah convergence area, area dimana passion kita akan sesuatu bertemu dengan kebutuhan seseorang. Area dimana ketika kita berhasil menemukannya, maka pundi-pundi uang akan bisa didapat, dan menjadikan passion kita sebagai alat pencari uang. Kemudian, bagaimana cara menentukan passion kita, apakah bisa menghasilkan uang atau tidak?

Ada rumus sederhana yang dapat digunakan.

Passion + Skill –> Problem + Opportunity = BUSINESS

See, ada empat hal yang harus dipenuhi. Passion hanya bagian kecil dari keseluruhan. Meskipun penting juga, tapi punya passion belum berarti kita punya bisnis, atau bisa menghasilkan uang.

Saya contohkan dengan cerita sederhana saja.

Rudi adalah anak kota yang punya passion bermain bola. Dia punya cita-cita untuk menjadi pemain bola profesional. Di kotanya, ada klub sepakbola yang lumayan terkenal, dan mereka membutuhkan pemain tengah yang punya skill bagus. Sayangnya, skill Rudi tidak cukup bagus untuk menjadikan klub sepakbola tersebut tertarik merekrut Rudi

Saya jabarkan satu per satu.

Passion –> Bermain bola

Skill –> Biasa saja

Problem –> Klub sepakbola butuh pemain tengah bagus

Opportunity –> Anak kota, akses ke klub sepakbola mudah

Dari cerita diatas, terlihat Rudi tidak memenuhi salah satu faktor, yaitu skill, sehingga dia tidak bisa menghasilkan uang dari passionnya tersebut, karena tentu saja klub sepakbola tidak akan merekrut pemain tanpa skill, kecuali dia mau jadi ball boy saja.

Atau dengan kasus yang sama, tapi kali ini ada anak yang mempunyai passion bermain bola, skill ciamik, dan banyak klub sepakbola butuh pemain yang bagus. Tapi sayang, karena tinggal di pelosok desa, sehingga bakatnya tidak terpantau oleh klub sepakbola. Dalam hal ini, dari segi opportunity tidak terpenuhi. Mungkin ada banyak kasus seperti ini.

Oke. Sekarang kembali ke kasus nyata.

Ada banyak orang yang mempunyai passion dan skill, namun pertanyaannya,

Apakah passion dan skill tersebut dapat memecahkan masalah seseorang?

Apakah ada market yang membutuhkan passion dan skill tersebut?

Passion dan skill saja tidak cukup untuk menjadikannya bisnis! Click To Tweet

Untuk mempermudah, kita bisa memetakan rumus diatas kedalam tabel. Contohnya seperti ini.

Passion Skill Problem Opportunity
Traveling Membuat itinerary, mengatur perjalanan, punya banyak koneksi dengan daerah wisata Orang tidak mempunyai waktu untuk mengatur liburannya, orang tidak tahu bagaimana cara termudah untuk mengunjungi suatu daerah wisata Membuat layanan agen perjalanan atau mengatur perjalanan orang-orang kaya yang super sibuk

Sekarang, kalau misalnya tidak ada skill yang disebutkan diatas, bagaimanapun ada masalah yang harus diselesaikan, ataupun ada peluang untuk masuk kedalamnya, kita tidak dapat menjadikan passion kita sebagai bisnis, karena kita tidak mempunyai skill. Kalau tidak punya skill membuat itinerary, atau mengatur suatu perjalanan, bagaimana kita bisa mengatur perjalanan orang lain atau calon klien kita? Bagaimana calon klien kita percaya dengan kita kalau kita tidak punya skill?.

Atau katakanlah kita punya skill diatas, namun ternyata orang-orang lebih suka untuk mengatur liburannya sendiri, atau di-era internet seperti sekarang ini, informasi-informasi mengenai perjalanan wisata dengan mudah diperoleh dari internet saja, dan mereka mempunyai waktu untuk mencari informasi mengenai perjalanan wisata tersebut. Tentu saja tidak akan menjadi bisnis!.

Passion atau Ego?

Kembali ke awal cerita, ketika kita resign, mengikuti kata hati untuk “follow your passion!”, apakah passion kita benar-benar dapat menghidupi kita?

Atau, jangan-jangan, kita resign hanya karena ego kita semata?

Ego karena tidak suka menjadi bawahan. Karena tidak suka dengan rutinitas 7 to 5. Karena iri dengan rekannya yang sukses bekerja dari rumah, modal internet dan hanya “koloran” saja. Atau karena ingin “gegayaan” melampirkan kata “CEO” di profile sosial media atau kartu namanya.

Maka, pertimbangkanlah sebelum mengambil keputusan untuk resign dan bekerja di rumah atau membangun bisnis sendiri yang bermodalkan passionnya. Pastikan terlebih dahulu bahwa passion yang kita punya, memang benar dapat menyelesaikan masalah seseorang, dan ada peluang didalamnya, sekaligus kita mempunyai skill. Skill memang bisa dilatih, tapi tentu saja butuh waktu lebih. Sementara, ada keluarga yang harus dinafkahi.

Kenyataannya, mengikuti passion tidak semudah yang dibayangkan atau cerita orang-orang…. 😉

You May Also Like

mm

About the Author: Andika Chandra

7 Comments

  1. Menarik, “resign bukan sekedar gaya2an atau bahkan ego”
    Saya sendiri saat ini dalam posisi ingin punya bisnis sendiri shg bisa resign dari 8 to 5
    Terasa berat, krn ada keluarga yg tetap hrs dinafkahi
    Namun tetap semangat utk belajar shg pd saat pendapatan bisnis mendekati gaji saat itu lah saya resign.

  2. Artikel yang luar biasa. Saya tidak akan mengomentari isinya, yang jelas tulisan ini lahir dari pengalaman, membaca, dan menyimpulkan.

    Pemberian contoh dari opini bahwa passion saja tidak cukup juga bagus pada kisah penyuka bola diatas.

    Joss, dan menginspirasi. Sayangnya saya dulu pernah salah karena mengikuti passion. Makanya tulisan ini menarik sekali buat saya.

  3. Sangat menarik. Ini seperti pengalaman pribadi saya, pernah memutuskan untuk menjadi seorang entrepreneur dan lepas dari status karyawan tapi ternyata tal seindah yang dibayangkan. Akhirnya banting stir lagi jadi karyawan.

Leave a Reply

>